Keluarga mana pun takkan rela kalau harga kian melambung tak terjangkau. Terlebih jika harga menyangkut sesuatu yang penting. Listrik, misalnya. Jika kenaikan tak lagi bisa dihindarkan, mau tidak mau, penghematan jadi pilihan yang paling sederhana.
Di masa Rasulullah saw., aksesoris kebutuhan tentu tidak seperti sekarang. Waktu itu, kebutuhan hanya berputar pada sesuatu yang pokok. Belum ada pulsa telepon, gas, apalagi listrik. Sehingga, tidak pernah ada kisah sahabat Rasul yang pusing dengan kenaikan tarif listrik seperti sekarang ini. Seperti yang saat ini dialami Bu Hani.
Ibu tiga anak ini mestinya tidak perlu terlalu pusing dengan kenaikan listrik. Anak-anak Bu Hani sudah besar. Si bungsu saja sudah kelas lima SD. Pernik-pernik kebutuhan keluarganya relatif lebih ringan daripada mereka yang tiga anaknya masih balita. Butuh susu, perawatan dokter, dan aneka makanan bergizi yang biasanya mahal. Di samping sudah bisa diajak berhemat, tiga anak Bu Hani juga sudah mandiri.
Di antara bentuk kemandirian itu, dua anak Bu Hani yang SMP sudah bisa dikasih tugas rumah tangga. Yang sulung mencuci baju, yang nomor dua sudah bisa nyetrika, dan si bungsu cuci piring. Cuma si bungsu yang masih perlu pengawasan. Kalau tidak, satu kali cuci piring, dua gelas bisa jadi korban: pecah, paling tidak retak.
Dari kemandirian itu, Bu Hani bisa keluar rumah buat cari tambahan penghasilan keluarga. Lumayan. Kalau hanya bergantung pada penghasilan suami, uang belanja dapur bisa kedodoran. Ketika gaji suami naik sepuluh persen, kebutuhan pokok sudah melonjak hampir seratus persen dari tahun-tahun sebelumnya. Benar-benar jomplang!
Yang jadi catatan, beban-beban yang dikasih ke anak-anak mesti diawasi ketat. Terutama dalam soal penghematan. Kalau tidak, bisa-bisa tagihan listrik bulanan menjadi tidak terjangkau. Soalnya, sebagian besar tugas rumah tangga berhubungan dengan kabel listrik. Mulai dari nyetrika, mesin cuci, lampu, televisi, dan kipas angin.
Semua ada peraturannya. Untuk nyetrika dan cuci baju, Bu Hani menjatah hanya pada siang hari setelah anak-anaknya pulang sekolah. Begitu pun dengan televisi, cuma boleh ditonton sore hingga menjelang maghrib. Selebihnya, stop.
Ada satu lagi yang tidak boleh diremehkan: hair dryer atau alat pengering rambut. Soalnya, semua anak Bu Hani perempuan. Ia kasihan kalau rambut tiga anaknya yang masih basah selepas mandi, langsung ditutup jilbab. Bisa-bisa, rambut anak-anaknya jadi ketombean. Supaya pemakaian alat ini bisa hemat listrik, Bu Hani cuma ngasih waktu pagi hari sebelum berangkat sekolah. Setelah itu, pengering rambut harus disimpan hingga esok pagi lagi. “Siapa yang melanggar, kena hukuman! Setuju?” ucap Bu Hani menyadarkan tiga anaknya. Anak-anaknya hanya mengangguk pelan.
“Apa nggak terlalu ketat, Han?” tanya seorang teman Bu Hani suatu kali. Ia prihatin kalau anak-anak Bu Hani jadi stres. Tapi, Bu Hani tetap istiqamah. “Nggak pa-pa. Anak-anak juga perlu latihan hemat,” jawab Bu Hani ringan.
Bu Hani tidak ingin tiga anaknya seperti anak tetangga sebelah. Boros! Sepertinya, anak tetangga yang juga teman sekolah anak Bu Hani ini tidak terlatih dalam hemat listrik. Gara-gara si anak, tagihan listrik tetangganya naik dua kali lipat. “Bayangkan, Bu. Gara-gara anak saya yang semata wayang itu, tagihan listrik sampai tujuh ratus ribu! Dasar!” ungkap ibu tetangga ke Bu Hani suatu hari.
Kecelakaan ini mungkin bisa dianggap wajar. Pasalnya, tetangga Bu Hani tergolong orang tua karir. Si suami sering dinas luar kota, dan isterinya kerja kantoran: berangkat pagi, pulang malam. Berbeda dengan Bu Hani yang cuma guru: tidak tiap hari, sebelum sore sudah di rumah.
Ketika bertemu dengan ibu tetangga itulah, Bu Hani merasa perlu memberi nasihat. Sudah sepatutnya sesama muslim, apalagi bertetangga, bisa saling memberi nasihat. “Menurut saya, anak-anak memang harus terus diawasi, Bu!” ucap Bu Hani mantap. Sang tetangga cuma manggut-manggut.
Hingga suatu hari, ibu tetangga Bu Hani itu datang berkunjung. Bu Hani agak kaget. Pasalnya, tetangganya itu memang nyaris tak pernah berkunjung. Jangankan mengunjungi tetangga, anak satu-satunya saja kerap tak terperhatikan. Dengan ramah, Bu Hani mempersilakan tetangganya itu duduk.
“Bu, saya mau tanya,” ucap ibu tetangga Bu Hani mengawali pembicaraan. Bu Hani spontan menyimak. Ia mengira kalau nasihatnya beberapa hari lalu butuh penjelasan lanjut.
“Apa ini setrika dan pengering rambut milik ibu?” tanya ibu tetangga itu sambil memperlihatkan isi bungkusan yang ia bawa dari rumah. Bu Hani langsung mengernyitkan dahi. Dua benda itu pun ia pegang. Sepertinya ia sedang memeriksa lebih teliti. Dan…
“Masya Allah, iya, Bu. Ibu dapat darimana?” tanya Bu Hani ketika yakin kalau dua barang elektronik itu memang kepunyaannya. Sang tetangga hanya senyum. Ia sepertinya agak berat untuk mengungkapkan sesuatu.
“Begini, Bu. Menurut anak saya, anak-anak ibu biasa nyetrika dan mengeringkan rambut di rumah saya!” ungkap ibu tetangga Bu Hani akhirnya. “Memang benar nasihat ibu, saya mesti melatih anak saya supaya berhemat. Ya, seperti anak ibu!” tambahnya kemudian.
sumber : http://www.eramuslim.com/hikmah/jendela/hemat-listrik.htm
0 komentar:
Posting Komentar