Disamping itu, karena seluruh sumber daya, menurut Qur’an adalah “amanat Allah kepada seluruh umat manusia” (QS. 2:29), maka tak dibenarkan sama sekali apabila sumberdaya-sumberdaya tersebut dikuasai oleh sekelompok kecil manusia saja (monopoli).
Jadi, Islam menekankan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, hingga setiap individu memperoleh jaminan serta tingkat hidup yang manusiawi dan terhormat, sesuai dengan harkat manusia yang inheren dalam ajaran-ajaran Islam, yaitu sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi (QS. 2:30).
Suatu masyarakat Islam yang gagal memberikan jaminan serta tingkat hidup yang manusiawi tidaklah layak disebut masyarakat Islam, seperti dinyatakan oleh Nabi saw: “Bukanlah seorang Muslim yang tidur dalam keadaan kenyang sedang tetangganya lapar” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 1:52).
Umar bin Khathab, Khalifah kedua, ketika menerangkan tentang redistribusi keadilan dalam Islam, beliau menekankan dalam salah satu pidato umumnya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kekayaan masyarakat, bahwa tak seorang pun, termasuk dirinya sendiri, yang memiliki hak yang lebih besar dari yang lain. Bahkan seandainya ia dapat hidup lebih lama, ia akan berusaha agar seorang gembala yang hidup di atas gunung Shan’a menerima bagian dari kekayaannya.
Khalifah Ali bin Abi Thalib diriwayatkan juga telah menekankan bahwa “Allah telah mewajibkan orang-orang kaya untuk menyediakan kebutuhan orang-orang miskin dengan selayaknya. Apabila orang-orang miskin tersebut kelaparan, tak punya pakaian atau dalam kesusahan hidup, maka itu adalah karena orang-orang kaya telah merampas hak-hak mereka, dan patutlah bagi Allah untuk membuat perhitungan bagi mereka dan menghukum mereka”.
Para ahli hukum sepakat bahwa adalah kewajiban bagi masyarakat Islam secara keseluruhan, khususnya kelompok yang kaya, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok kaum miskin, dan bila mereka tak mau memenuhi tanggung jawab ini, padahal mereka mampu, maka negara dapat bahkan harus memaksa mereka untuk memenuhinya.
Program Islam dalam redistribusi kemakmuran terdiri dari tiga bagian:
Pertama, seperti telah diuraikan terlebih dahulu, ajaran-ajaran Islam mencakup pemberian bantuan bagi kaum penganggur dan pencari pekerjaan supaya mereka memperoleh pekerjaan yang baik, dan pemberian upah yang adil bagi mereka yang bekerja.
Kedua, Islam menekankan pembayaran zakat untuk redistribusi pendapatan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin, yang -karena ketidakmampuan atau rintangan-rintangan pribadi (kondisi-kondisi fisik atau mental yang bersifat eksternal, misalnya ketiadaan kesempatan kerja)- tidak mampu mencapai tingkat hidup yang terhormat dengan usaha sendiri. Hal ini dimaksudkan agar “kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya diantaramu saja” (QS. 59:7).
Ketiga, pembagian warisan tanah/kebun dari seseorang yang meninggal, sesuai dengan patokan yang telah ditentukan diantara sejumlah individu-individu untuk mengintensifkan dan mempercepat distribusi kekayaan di masyarakat.
Akan tetapi, konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan dan konsepsinya tentang keadilan ekonomi ini tidaklah berarti menuntut bahwa semua orang harus menerima upah yang sama, tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat.
Islam mentolerir ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada masyarakat (QS. 6:165; 16:71; 43:32).
Karena itu, keadilan distributif dalam masyarakat Islam, setelah memberi jaminan tingkat hidup yang manusiawi kepada seluruh warganya melalui pelembagaan zakat, mengijinkan perbedaan pendapatan yang sesuai dengan perbedaan nilai kontribusi atau pelayanan yang diberikan, masing-masing orang menerima pendapatan yang sepadan dengan nilai sosial dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat.
Penekanan Islam terhadap keadilan distributif adalah demikian keras, hingga ada beberapa orang dari kaum Muslimin yang percaya akan persamaan kekayaan yang mutlak. Abu Dzar, salah seorang sahabat dekat Nabi, berpendapat bahwa tidaklah halal bagi seorang Muslim untuk memiliki kekayaan diluar kebutuhan pokok keluarganya. Tetapi sebagian besar sahabat Nabi tidak setuju dengan pendapat ekstrim ini dan mencoba mempengaruhinya untuk merubah pendapatnya. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, tentang QS.9:34).
Tapi Abu Dzar sendiri juga tidak mendukung persamaan pendapatan. Ia mendukung persamaan dalam simpanan kekayaan (stock). Ini, katanya, bisa dicapai apabila seluruh kelebihan dari pendapatan yang telah dipakai untuk keperluan-keperluan pokok (al-’afw) dipergunakan untuk meningkatkan taraf hidup orang-orang miskin.
Akan tetapi konsensus para ulama Islam adalah bahwa walaupun mereka sangat mendukung keadilan distributif, namun mereka berpendapat bahwa apabila seorang Muslim memperoleh penghasilan dengan cara-cara yang halal dan memenuhi kewajibannya terhadap kesejahteraan masyarakat dengan membayarkan zakat pendapatan dan kekayaannya, maka tidak ada salahnya ia memiliki kekayaan lebih dari orang-orang Muslim yang lain.
Akan tetapi, dalam kenyataan, apabila ajaran-ajaran Islam tentang halal dan haram dalam pencarian kekayaan ditaati, norma-norma keadilan terhadap kaum buruh dan konsumen diterapkan, pedoman-pedoman redistribusi pendapatan dan kekayaan dilaksanakan, dan hukum Islam dalam masalah pembagian warisan diberlakukan, maka tidak akan ada perbedaan besar dalam pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat Islam.
4. Kemerdekaan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Dasar iman yang paling penting dalam Islam adalah kepercayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah, karena itu hanya boleh bersikap menghamba kepada-Nya saja (QS. 13:36 dan 31:32). Ini adalah intisari, piagam Islam tentang kemerdekaan dari segala jenis perbudakan.
Dalam hal ini Al-Qur’an mengatakan bahwa salah satu tugas Nabi Muhammad saw adalah untuk “membebaskan umat manusia dari beban dan belenggu yang mengikat mereka” (QS. 7:157). Semangat kemerdekaan atau kebebasan inilah yang mendorong Umar, Khalifah kedua, untuk mengatakan: “Sejak kapankah engkau memperbudak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”.
Imam Syafi’i, pendiri madzhab fiqh Syafi’i, mengungkapkan semangat yang sama ketika ia mengatakan: “Allah telah menciptakanmu dalam keadaan merdeka, karena itu selalulah merdeka”.
Karena manusia dilahirkan merdeka, maka tak seorang pun, walau negara sekalipun, berhak untuk merampas kemerdekaannya dan membuat hidupnya tunduk pada berbagai cara dan aturan. Ulama-ulama fiqh sepakat bahwa pembatasan-pembatasan tak dapat dikenakan kepada seorang yang merdeka, dewasa, dan sehat akal fikirannya, bahkan meskipun ia berbuat merugikan dirinya sendiri, dengan, misalnya, membelanjakan uangnya secara boros tanpa faedah.
Alasan yang dikemukakannya untuk itu adalah bahwa merampas kemerdekaan atau kebebasan menentukan pilihan adalah sama dengan merendahkan kemanusiaannya dan memperlakukannya seperti hewan yang tak berakal. Kemadharatan/ kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan ini adalah lebih besar daripada kerusakan yang timbul karena keborosannya. “Bahaya yang lebih besar tak boleh dikenakan untuk menghindari bahaya yang lebih kecil”.
Akan tetapi perbedaan pendapat ini -tentang pembatasan kemerdekaan orang yang berlaku boros- hanya menyangkut seorang yang merugikan kepentingan dirinya sendiri tanpa, tentu saja, melanggar batas-batas norma Islam.
Apabila seseorang merugikan kepentingan orang lain, maka tak ada perbedaan pendapat bahwa pembatasan boleh dan bahkan harus dikenakan terhadapnya. Semua ahli hukum Islam berpendapat boleh dikenakan pembatasan apabila pembatasan itu dapat mencegah timbulnya kerugian di pihak orang lain atau menyelamatkan kepentingan umum; karena, seperti kata Abu Hanifah, “kontrol adalah perlu bagi seorang dokter yang tidak berpengalaman, atau seorang hakim yang tidak hati-hati, atau seorang majikan yang bangkrut; karena kontrol seperti itu berarti mengenakan kerugian yang lebih kecil terhadap seseorang untuk menghindari bahaya yang lebih besar”.
Kesejahteraan sosial memiliki tempat yang mutlak penting dalam Islam, dan kebebasan individu, walaupun sangat penting, tidak boleh mengabaikan implikasi sosialnya.
Untuk menempatkan hak-hak seorang individu vis-a-vis individu-individu lain dalam masyarakat, maka ulama-ulama fiqh telah menyepakati prinsip-prinsip dasar berikut ini:
1. Kepentingan yang lebih besar dari masyarakat harus lebih diutamakan daripada kepentingan individu.
2. Walaupun “menghindarkan kerugian” dan “meningkatkan keuntungan” kedua-duanya adalah tujuan utama syari’ah, namun yang pertama lebih diutamakan daripada yang kedua.
3. Suatu kerugian yang lebih besar tak dapat dikenakan untuk menghindari kerugian yang lebih kecil; atau suatu keuntungan yang lebih besar tak dapat dikorbankan demi keuntungan yang lebih kecil. Sebaliknya, kerugian yang lebih kecil dapat dikenakan untuk menghindari kerugian yang lebih besar; atau suatu keuntungan yang lebih kecil dapat dikorbankan demi keuntungan yang lebih besar.
Kebebasan individu, dalam batas-batas etika Islam, hanya dianggap sah selama tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih besar, atau selama individu yang bersangkutan tidak melanggar hak-hak orang lain.
Sifat Sistem Ekonomi Islam
Pembahasan tentang tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan material yang berdasarkan nilai-nilai spiritual yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari filsafat ekonomi Islam.
Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan kapitalisme, yang keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem tersebut.
Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada persaudaraan umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini berorientasi spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai ekonomi dan sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada keadilan ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat, bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan filsafatnya.
Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil dari filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya pengabdian kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan persamaan yang adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain karena hilangnya kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak diakuinya kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.
Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling merelakan” (QS. 4:29).
Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya, yaitu pelembagaan hak milik pribadi.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat dan warisan.
Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan ajaran Islam.
Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi tanpa pasar.
Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka.
Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah kepada umat manusia.
Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat dan dinamis. Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, dan dengan demikian membawa kepada berbagai penyakit ekonomi dan sosial, maka Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.
Pengakuan Islam atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik pribadi dan motif mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan kapitalisme yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:
Pertama, dalam sistem Islam, walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).
“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu semua tahu? Pasti mereka akan menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian, maukah kamu semua berfikir?” (QS. 23:84-85).
“Dan berilah (bantulah) mereka dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah kepadamu” (QS. 24:33).
Kedua, karena manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih khusus lagi, oleh nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum.
Harta benda haruslah dicari dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan harus dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya.
asulullah saw bersabda:
“Harta benda memang hijau dan manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang halal, maka harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik, sedangkan barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan seperti seseorang yang makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya, 2:728). Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber : http://www.eramuslim.com/syariah/ekonomi-islam/sistem-ekonomi-islam-distribusi-pendapatan-yang-adil.htm
0 komentar:
Posting Komentar