Selasa, 16 Maret 2010

Bola Kacaku

Bola Kacaku

Berjalan sendirian, pandangan gadis itu kosong. Aku sangat ingin memeluknya atau membuat penyanggah untuknya. Karena kelihatannya, gadis itu bisa jatuh sewaktu-waktu. Jalannya sangatlah pelan, tak bertenaga. Dia melewatiku, tanpa ada perkenalan, tanpa ada pamitan, tanpa ada senyum. Kali ini aku hanya bisa melihat punggungnya, tak dapat melihat matanya yang mulai layu tak bersinar lagi.
Dia adalah teman sekelasku, Rina. Duduk di depanku dengan rambut panjang tergerai. Sekali-kali dia menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, di saat jam pelajaran berlangsung. Membuat wangi rambutnya menyentuh ujung hidungku. Membuat alunan detak jantungku terasa berat untuk berjalan. Aku sangat ingin menarik nafas panjang, agar wangi samponya benar-benar melekat di hidungku.
Dengan geraian rambutnya, batu bata cinta tersusun dalam hatiku untuknya. Suaranya yang lembut, kudengar sesekali saat dia menjawab pertanyaan. Dia adalah gadis yang sangat periang, sangat berbeda aliran denganku yang selalu menuliskan puisi di lembar belakang buku catatanku. Kutuliskan untuknya, yang amat kuperhatikan di dalam kelas.
Sehelai Rambut
kibaran helaian rambutmu
membuat aroma tersendiri dalam udara
membuat darah dagingku menggigil
seperti hujan membuat hawa dingin sedingin es
terhadapmu seperti itu
mendinginnya nadiku
mencium bau rambutmu
kadang helaian rambut yang kau sibak
menempel di wajahku yang dekat denganmu
membuat untaian kata-kata
di balik buku catatanku
Dari sebuah pinjaman penghapus. Tangannya menyentuh jariku yang sedang menulis. Membuat kaca mata yang melekat di wajahku harus jatuh dan pecah “Maaf, maaf yah saya tidak sengaja!”
“Maaf soal apa? Tanganmu yang sudah menyentuh jariku atau soal kacamataku yang pecah”
“Ah…eh…”, mukanya memerah. Dia balikkan badannya, membelakangiku. Aku sangat senang melihat bola matanya yang sedang menatap wajahku dengan kebingungan.
“Tomi…!”, aku balikkan badan mencari sumber suara “Tomi aku…”, tubuh Rina berdiri di depanku. Dia menundukkan kepalanya tak berani menatapku, akupun berbuat sama. Kemudian aku mendengakkan kepalaku, kami bertemu pandang “Aku sungguh…sungguh me…minta maaf padamu…”, ucapnya terbata sambil memainkan jarinya “Kenapa meminta maaf padaku?’, tanyaku. Matanya berubah serius “ Aku akan menggantikan kaca matamu yang pecah. Aku akan membelikan kaca mata baru untukmu. Kalau kau bisa, kita pergi bersama untuk mencari kaca matamu yang baru”, ucapnya menjelaskan. Kulihat sinar matanya sangat serius, berbeda sekali dengan yang tadi. Aku tidak bisa berfikir banyak. Tiba-tiba saja tangannya meraih lenganku, dan menarikku pergi.
Kami pergi ke Mall, kami pergi hanya berdua saja. Kami kelilingi semua tempat, walau barang yang kami cari sudah terbeli. Saat itu kami isi waktu dengan menceritakan pengalaman diri yang konyol. Sikapnya sangat sulit ditebak, aku rasakan hal itu sangat kental di dirinya. Tawanya sangatlah manis, aku tak menyesal kaca mata kesayanganku ini pecah. Setelah acara jalan-jalan berakhir, kami jalan di trotoar bermaksud untuk pulang. Hari sudah gelap, tak baik wanita jalan sendirian pikirku dan berniat mengantarnya sampai rumah. Langit sangat hitam, tak ada bulan dan bintang malam ini “Besok langsung dipakai ya…”, pintanya “Ya”, jawabku datar. Kami saling diam, seperti tak ada kata yang tepat untuk mengakhirinya. Tiba-tiba saja rintik hujan membasahi baju sekolahku, membasahi baju sekolah kami. Dengan cepat aku menggenggam tangannya lalu mengajaknya berlindung. Di pohon yang rindang kami berlindung. Masih tanpa kata-kata kami membersihkan buih-buih hujan yang menempel di baju kami masing-masing.
“Rumahku sudah dekat, kau pulanglah”, pintanya sambil memandang ke depan tanpa melihatku “Tidak baik meninggalkan seorang teman apalagi dia seorang wanita, di pinggir jalan seperti ini”
“Apakah kau termasuk laki-laki yang tak pernah menyakiti hati lawan jenis?”, tanyanya datar sambil melihatku kali ini. Di balik kata-katanya mengandung makna yang berarti, tapi entah itu apa?. “Kenapa diam?’, tanyanya. Jawaban itu sudah dalam benakku tapi aku ragu untuk mengutarakannya. “Wanita itu seperti bola kaca, mudah sekali pecah. Bila kita memeluknya terlalu erat, dia akan pecah. Tapi bila kita membiarkannya, dia akan menggeliding. Aku hanya mencoba sekuat tenagaku. Menjaga bola kaca itu agar tidak pecah dan tak pergi dariku. Sayang aku belum mempunyai bola kacaku sendiri, jadi apa salahnya aku sedikit melakukannya terhadapmu”, dia menatapku lekat. Hujan yang deras tak kami hiraukan, tatapan matanya seolah memegang erat tanganku. Suara petir menyambar kesadaran kami “Benar, rumahku sudah dekat. Aku tidak apa-apa pulanglah”, kali ini tangannya mendorong tubuhku, menyuruhku pulang.
Hujan sudah mulai reda, rintik gerimis menyambut langkah kami pulang. Aku ingin sekali mengantarnya dan dia mengijinkannya. Di depan rumahnya, aku hanya bisa melamun mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja. Bibirnya membuat senyum, membiarkan mata ini terpaku “Mampir?”, ajaknya. Tarikan tangannya yang menggenggam tanganku membuatku untuk mengikutinya. Rumahnya biasa saja namun sangat nyaman, sentuhan wanita sangat kental di sini. Hanya dalam sebuah malam. Entah apa yang memasuki pikiranku, aku memasuki kamarnya, menggenggam tangannya seolah dia adalah milikku, rambutnya yang panjang itu kali ini benar-benar kubelai. Tak ada yang kami tertawakan, tapi kami hanya tertawa pelan. Aku mengikuti alur tubuhnya seperti aku mengikuti alur tubuhku.
Malam yang lelah, tempat tidurnya membelaiku lembut. Tubuh Rina terkulai di sampingku. Masihku lihat jelas seluruh tubuhnya, kami tabrakkan mata.
Pagi-pagi mejaku sudah kuhias dengan sebatang pulpen dan secarik kata dalam halaman belakang buku catatanku.
Sungkan
aku memulainya dengan sebuah tawa
merobek seluruh ragaku yang berotot ditatapnya
ditatapnya aku pelan-pelan seperti aku seoarang musafir
tatapannya mengajakku tergelincir
seolah aku ini tamunya
tamu jiwanya ini duduk manis di pojok hati
sambil terus membayangkan perlakuannya
apakah kita masih teman
adakah sebatas garis yang masih membatasi kita
membatasi betapa kecilnya kita
Dia datang sambil terus menatapku, tak ada senyum di wajahnya. Hal itu membuat prasangka buruk terhadapku. Namun setelah duduk lama di mejanya sapaan itu keluar dari mulutnya “Pagi Tom”
“Pagi…”, jawabku tanpa berani menatap wajahnya. Kisah kami sangat indah tak ada cacat sedikitpun, walaupun kami tahu sebenarnya kita terlalu membangkang. Namun menjelang akhir tahun pertengkaran mulai merebak. Kedua orang tuanya mengetahui kami pacaran. Padahal kami masih duduk di kelas tiga SMA, masa depan kami masih jauh dan belum tentu Rina adalah teman hidupku untuk selamanya. Apa salahnya kami saling mengenal walau mencoba serius. Orang tuanya terlalu otoriter, apa karena aku dianggap seonggok orang yang tidak berguna. Karena aku yatim piatu, dan hanya mempunyai orang tua angkat.
Muka Rina dalam beberapa minggu ini terlihat sangat pucat. Aku selalu menanyakan apa sebabnya, namun dia tak pernah menjawabnya. Dia terlihat sangat lemah, tiba-tiba saja dia menangis di pundakku saat sekolah usai di dalam kelas “Ibu menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku…”, ucapnya sambil terisak tanpa berani melihat bola mataku “Maksud kamu?”, tanyaku bingung “Aku mengandung anakmu…hik…hik…”

“Kita hanya melakukannya sekali Rin,…”
“Tapi justru karena sekali itu yang membuat jadi,Tom!”
“Kamu hamil?”
“Iya aku hamil dua minggu…”
“Tapi Rin kita melakukannya sudah beberapa bulan yang lalu, tapi kenapa umur kandunganmu baru dua minggu?!”

“Kamu tidak percaya denganku Tom? Kamu Tom, kamu! Kamu yang selalu menginjak benakku, yang mengisi mataku setiap hari. Kau tahu sendiri waktu itu aku masih perawan dan kita melakukannya atas suka sama suka! dan kita tak sengaja melakukannya saat itu Tom. Dan setelah semua sudah terlambat, kau menyangkalnya Tom!” “Bukan itu, aku hanya tidak percaya…”
“Iya, kau tidak percaya kalau aku melakukannya hanya dengan kamu saja! Iyakan?”, aku hanya bisa diam dan ternyata diamku membuat Rina putus asa “Biadab!”, ucapnya keras sambil menangis pergi. Aku melihat punggungnya yang berlari pergi sambil meninggalkan keputusasaan….
Beberapa hari kami tak saling bicara, hati nulariku menyuruhku untuk berbicara duluan dan aku menurutinya. Tapi Rina selalu menghindar, terpaksa aku mengajaknya berbicara di saat jam pelajaran. Dengan secarik kertas aku mengirim pertanyaan untuknya, Kenapa selalu menghindar?bales,Tomi… Buat apa terus menempel dengan orang yang sama sekali tak mempercayai pacarnya sendiri. Kamu salah paham, waktu itu aku sangat kaget. Hampir saja aku tak bisa berbicara sepatah katapun. BOHONG…! Kalau kau tidak percaya kita bicara setelah usai sekolah, Kalau kau memang ingin bertanggung jawab, selesaikan sekarang! Dengan cara apa?
Kuserahkan kertas itu kepadanya, agar dia menjawab lagi atas pertanyaanku. Tiba-tiba saja, “Pak, Tomi menggangguku dengan kertas ini pak!”, teriak Rina sambil memamerkan kertas dariku. Wajahku langsung pucat pasi, mulutku kaku, sedangkan tubuh Pak Herman terus mendekatiku dan Rina “Maju ke depan Tomi”, suruh Pak Herman sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Aku menuruti perkataannya, saat bangun dari tempat dudukku Rina berbisik kepadaku “Dengan cara ini”, katanya lirih. Tubuhku berdiri tegap di depan kelas “Baca kertas yang kau kirim buat Rina!”, ucap Pak Herman lantang. Dengan tangan yang bergetar aku membaca keras-keras isi kertas ini.Teman-teman yang lain menertwaiku, aku malu sekali tapi apa boleh buat.
“Kau puas?”, tanyaku kepada Rina saat aku mulai duduk kembali. Pak Herman tak mengatakan apa-apa lagi, tapi wajahnya menunjukkan bahwa isi kertas ini sangatlah lucu. “Yah, sangat puas. Aku menunggumu usai pulang sekolah, di sini”, ucapnya penuh senyum. Syukurlah…
Satu-persatu teman kami mulai keluar, kami masih duduk diam.
“Kau mau bertanggung jawab?”, tanyanya membuka pembicaraan. Wajahnya kupandang sangatlah pucat. Gerak tangannya menggapai tanganku kini sangatlah lambat. “Aku belum siap”,
“Kenapa belum siap, saat kau melakukannya kau siap. Padahal hal itu sangatlah dadakan!”, dia mulai menangis dan melanjutkan perkataannya “Benar kata ibuku, aku harus menggugurkan kandunganku. Karena seorang yatim piatu mana berani untuk bertanggung jawab!”, ucapnya keras dan sangat menusuk hatiku tepat sekali di jantungku “Rina!”, bentak aku tiba-tiba dan hal itu membuat tangisannya berteriak lebih keras lagi. “Tom…hik…aku tak mau menggugurkannya, sama sekali tidak mau. Aku mencintainya sama persisi aku mencintaimu…hik….Tolong Tom, bertanggung jawablah…” “Akan kupikirkan nanti…”
“Kau lupa akan janjimu?”, tanyanya dan kali ini aku melihat bola matanya yang serius itu lagi “Yang mana?” “Janjimu saat kita benar-benar belum jadian, saat aku memecahkan kaca matamu dan sebelum kita melakukan perbuatan yang biadab itu!”, kata-katanya mulai histeris. Tak lama kemudian dia berkata “Wanita itu seperti bola kaca…”
“Gampang sekali pecah, bila kita menggenggamnya erat dia akan pecah dan bila kita membiarkannya dia akan menggelinding. Aku hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk, menjaganya agar tidak pecah dan apa salahnya aku melakukannya terhadapmu”, bibir kami bergerak bersama. Ada luka yang diam-diam mengeluarkan darah di hatiku “Aku minta maaf…”, ucapku penuh sesal yang terlalu kaget dengan peristiwa ini. Air mataku mulai keluar, dia tersenyum “Kau sudah membuatku pecah Tom, dan aku percaya kau tak akan membiarkanku menggelinding”, aku memeluknya persis seperti malam itu. Saat dia belum di genggamku erat.
Saat ingin mengantarnya pulang, seperti biasa kami selalu bercanda. Jalan raya yang menuju rumahnya dipenuhi kendaraan yang lalu lalang

‘Cekiiiit….!’
“Kyaaa…!”
‘Braaak…!’, entah bagaimana kejadiannya. Itu terlalu cepat bagiku, aku tak percaya akan hal ini. Tubuhnya tergeletak di aspal depan rumahnya, mobil telah menghantam tubuhnya keras. Ayah dan ibunya menamparku berkali-kali di rumah sakit. Tamparan yang sangat menyakitkan hatiku, pada saat Rina sadar dan membisikkan “Tersenyumlah, anakmu sudah tiada…”, ucapnya sambil mengeluarkan tetesan air mata seorang ibu. Aku hanya bisa menggenggam tangannya sambil meneteskan air mataku untuk anakku yang pertama kali di hidupku. Sayang tetesan air itu bukanlah kebahagiaan. Kamar rumah sakit sangat sepi, tak ada suara suster yang sedang membantu dokter, tak ada suara omelan ayah angkat, tak ada suara tamparan kedua orang tua Rina…hanya ada suara tangisan bayi yang membayangi diri kami, meneriakkan kehidupan ditelinga kami.
Berjalan sendirian, pandangan gadis itu kosong. Aku sangat ingin memeluknya atau membuat penyanggah untuknya. Karena kelihatannya, gadis itu bisa jatuh sewaktu-waktu. Jalannya sangatlah pelan, tak bertenaga. Dia melewatiku, tanpa ada perkenalan, tanpa ada pamitan, tanpa ada senyum. Kali ini aku hanya bisa melihat punggungnya, tak dapat melihat matanya yang mulai layu tak bersinar lagi.
Aku mengejar tubuh gadis itu “Rina…!”, tangannya kuraih lalu menatap matanya “Kita bisa memulainya dari awal BOLA KACAKU, di pernikahan…”, matanya yang layu tak bersinar lagi mulai menatapku hampa “Di pernikahan?” “Yah di pernikahan, aku akan melamarmu kapan saja! Kau maunya kapan? Hari ini atau kapan?”, tanyaku penuh senyum dan membuat segores senyum di bibirnya kali ini. Dalam hatiku untuk bola kacaku, kali ini dilembaran yang baru aku tak akan membuatmu pecah lagi ataupun menggelinding menjauhiku. Aku akan menjagamu sekuat tenagaku dan melakukan hal itu sepenuh hatiku terhadapmu. Aku menggenggam tangannya, mengantarnya pulang. Senyum kami merekah sama persis waktu yang lampau mungkin lebih indah sekarang walau ada sedikit luka yang membekas di diri kami masing-masing. Aku sangat mencintaimu bola kacaku, sama dengan kau yang sedang tersenyum padaku.

SUMBER :
http://brichana.blogsome.com/2004/10/31/5/




0 komentar:

Posting Komentar