(Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Desa)
Salah satu yang sering ditanyakan kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh ketika sedang melakukan audiensi dengan kalangan eksekutif dan legislatif di Kabupaten Serang adalah; mengapa setiap permasalahan ketenagakerjaan selalu muncul dari Serang wilayah Timur, (Jawilan, Cikande, Kibin) dan jarang sekali muncul dari Serang wilayah Barat (Bojonegara, Anyer, dan sekitarnya)? Benarkah dampak kebijakan fleksibilisasi pasar kerja yang ditandai dengan maraknya buruh kontrak, outsourcing dan upah murah lebih bersikap kasuistis?Untuk memastikan kondisi hubungan industrial di daerah Bojonegara dan Anyer, FSBS melakukan pendataan di daerah tersebut. Sepintas, memang hubungan industrial di wilayah tersebut seperti tidak bermasalah. Tidak ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Tidak ada eksploitasi terhadap buruh. Ukurannya sangat mudah, jarang sekali terdengar ada laporan perselisihan hubungan industrial dari daerah ini.
Benarkah demikian?
Gambaran Umum
Secara umum, Bojonegara didominasi perusahaan multinasional dan padat modal. Upah buruh di perusahaan-perusahaan tersebut (sedikit) lebih baik dari perusahaan lain pada umumnya. Selain kimia, jenis idustri lain yang berada di daerah ini adalah sektor logam, energi, dsb.
Lain di Bojonegara, lain pula di Anyer. Sebagai kawasan wisata, buruh di Anyer mayoritas berada di sektor pariwisata dan perhotelan. Selain itu, kita juga akan menemui perusahaan yang beroperasi di bidang perikanan (PT. Triwindu Graha Manunggal).
Jarak yang relatif jauh dengan pusat kekuasaan (Pemda, DPRD, dan Disnaker), membuat informasi ketenagakerjaan yang didapat buruh di wilayah ini relatif lebih lambat. Disamping itu, tersebarnya sentra-sentra industri di wilayah ini juga berkonstribusi memperlemah komunikasi buruh di antar perusahaan. Karena tidak terjalin kebersamaan, akibatnya mereka cenderung tidak terorganisir.
Bentuk-bentuk Fleksibilisasi Pasar Kerja
1. Fleksibilisasi yang terkait dengan organisasi produksi.
Fleksibilisasi dalam bentuk ini terlihat dengan banyaknya buruh kontrak, outsourcing, borongan, dan harian lepas. Berbicara penggunaan buruh kontrak, outsourcing, borongan dan harian lepas mungkin bukan hal yang baru. Begitu juga dengan yang terjadi di Bojonegara dan Anyer. Informalisasi sektor formal, berada dalam level yang sedemikian mengkhawatirkan.
Pasca lahirnya UU No.13 Tahun 2003, hubungan industrial dilihat dari sisi hubungan kerja jelas-jelas mengalami degradasi atau penurunan kwalitas. Begitu juga yang terjadi diperusahaan saya, dimana dulunya system rekrutmen tenaga kerja melalui seleksi yang sangat ketat dan berorentasi pada status hubungan kerja tetap melalui masa percobaan. Tetapi setelah pertengahan tahun 2004 sistem rekrutmen tenaga kerja diperusahaan saya jadi tidak jelas. Awalnya sih melalui system tenaga kerja kontrak dengan dalih perusahaan ingin mencari tenaga kerja yang benar-benar berkwalitas, tetapi sekarang justru perusahaan lebih suka memakai tenaga kerja dari yayasan Outsorcing seperti Koperasi. Ada juga jasa tenaga kerja yang dikelola oleh orang dalam perusahaan. Manager dan Kepala Bagian , dan hal tersebut telah menjadi sesuatu yang biasa dan seolah-olah bukan merupakan bentuk pelanggaran.
Sumber: FGD dengan buruh Bojonegara
Nampaknya, informalisasi sektor formal dalam hubungan kerja menjadi fakta yang tak terbantahkan. Status kerja menjadi tidak jelas. Seperti industri rumahan, buruh bisa bekerja dan dikeluarkan hari itu juga.
2. Fleksibilisasi yang terkait dengan tugas atau pekerjaan buruh.
Kondisi ini terlihat dari adanya tuntutan kepada buruh untuk menyesuaikan tugas atau pekerjaan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Dalam hal ini, buruh harus mengerjakan lebih banyak dari yang seharusnya mereka kerjakan. Rangkap tugas dan jabatan. Dan ini tidak selalu dibarengi dengan kenaikan upah.
Sistem ini juga berdampak pada fleksibelnya jam kerja. Sebab ketika buruh tidak berhasil menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan jam normal, ia harus melanjutkan pekerjaannya, tanpa dibayar lembur.
Bagi buruh di sektor Pariwisata dan Perhotelan, kondisi ini lebih memprihatinkan. Buruh yang tidak dilaporkan, bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka pada umumnya buruh panggilan. Kalau ada pekerjaan ya dipanggil masuk kerja, kalau tidak ada ya dirumahkan. Ketidakjelasan nasib dan status menghantui mereka, entah sampai kapan.
3. Fleksibilisasi yang terkait dengan upah.
Upah yang diperoleh buruh dibebaskan dari berbagai tunjangan yang semestinya diperoleh buruh. Bukan hanya soal tunjangan, untuk kasus-kasus tertentu, juga ditemukan buruh yang upahnya masih dibawah upah minimum Kab. Serang.
Pengelompokan buruh di Serang wilayah Barat sangat terlihat. Disatu sisi, ada buruh dengan status permanent, bekerja di perusahaan multinasional dengan tingkat upah dan tunjangan yang relatif tinggi. Namun disatu sisi, ada juga buruh yang upah dan tunjangannya pun ketika digabung tidak lebih dari nilai UMK. Perbandingan ini akan semakin kontras ketika disandingkan dengan kondisi buruh-buruh yang bekerja di daerah Anyer.
Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh perubahan pola pikir masyarakat didalam memandang pekerjaan sebagai status sosial. Dimana dulunya mayoritas masyarakat disana mata pencaharian adalah sebagai nelayan, petani dan pedagang tetapi sekarang masyarakat (generasi muda) lebih suka bekerja pada sector riil (pekerja pabrikan) sehingga fenomena ini dimanfaatkan oleh pihak pengusaha untuk mencari tenaga kerja yang murah tapi berkwalitas dan ini didukung oleh regulasi yang dibuat pemerintah.
Sumber: FGD dengan buruh Bojonegara
Sekilas Potret ‘Ketidakberdayaan Buruh’
Potret ketidakberdayaan buruh menghadapi badai LMF di Serang Barat menghasilkan sebuah gambar yang kompleks. Ketidakberdayaan buruh terhadap permasalahan LMF juga terkait dengan masalah sosial. Dimana kebutuhan hidup tidak bisa diajak kompromi, belum lagi antara kesempatan kerja dan lapangan kerja tidak seimbang. Sulitnya mendapat pekerjaan, juga membuat seseorang tidak memperdulikan lagi hubungan kerjanya.
Bila ditanya, kenapa mau bekerja tanpa status yang nggak jelas masa depannya ? Jawabanya, “ah…. dari pada nganggur lebih baik kita kerja apa adanya. Yang penting, sampai saat ini kita bisa hidup, punya penghasilan. Daripada kita nuntut macam-macam, ujung-ujungnya kita nganggur lagi”
Sumber: FGD dengan buruh Bojonegara
Sikap apatis di atas semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum. Seandainya fungsi pengawasan berjalan baik, Disnaker bekerja professional, setidak-tidaknya hal tersebut bisa dicegah. Atau minimal dikurangi. Namun kenyataannya, Disnaker terkesan tutup mata terhadap persoalan tersebut
Upaya Mengusik Kepedulian Buruh Bojonegara dan Anyer
Lima tahun sejak diundangkannya UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pelanggaran terhadap kaum buruh semakin menumpuk. Untuk itu perlu dipikirkan cara-cara mengurangi dampak buruk penerapan kebijakan fleksibilisasi pasar kerja dengan pendekatan yang kreatif, dengan menggunakan beragam strategi. Khususnya dalam tingkatan lokal.
Dalam konteks kebuntuan sekarang, perlu dipikirkan pendekatan yang majemuk untuk terus mendorong pengungkapan berbagai bentuk pelanggaran tersebut. Upaya-upaya ini tetap perlu didorong, misalnya dengan melakukan penguatan dan pemberdayaan teman-teman buruh di Serang Barat, agar berani mengungkap berbagai pelanggaran yang mereka alami.
Tetapi sebuah pendekatan majemuk berarti kita tidak hanya berharap bahwa Pemerintah akan melakukan langkah-langkah yang kredibel. Kita juga harus bekerja secara proaktif untuk menggunakan mekanisme yang ada. Misalnya, dengan mendesak Pemda untuk segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) pembatasan buruh kontrak dan outsourcing.
Dalam kaitan dengan itu, FSBS mendesak dan merekomendasikan:
1. Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Serang perlu mengambil inisiatif untuk membuat Perda Pembatasan Buruh Kontrak dan Outsourcing, yang pada intinya memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pekerja/buruh dan keluarganya).
2. Pemerintah Daerah Kabupaten (melalui Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Serang), serius dalam memberantas dan menindaklanjuti segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan terhadap peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, diantaranya yang terkait dengan penyelewengan penggunaan buruh kontrak dan outsourcing, penggelapan iuran jamsostek, pelanggaran kebebasan berserikat, mafia peradilan hubungan industrial, pelanggaran ketentuan pengupahan, dsb.
3. Senantiasa melibatkan elemen pekerja/buruh dalam upaya mencari solusi terhadap permasalahan ketenagakerjaan.
Teori Tentang Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Desa
http://suarasolidaritas.blogspot.com/2009/03/nasib-buruh-yang-terlupakancatatan-awal.html
0 komentar:
Posting Komentar